Bibliophile
untuk
Maria, @madhatterisreading,
untuk
Kimberly, @darkladyofbooks,
dan
untuk semua teman-teman di komunitas Bookstagram.
“Lis, lihat nih, mama
punya hadiah untukmu,”
Mama menaruh sebuah
bungkusan di meja. Masih rapi terbungkus kantong plastik berwarna putih, dengan
logo yang sangat aku kenal.
“Makasih, Ma!” aku
beranjak memeluk mama. “Mama tahu aja deh Lis suka banget ini.”
Aku mengambil kantong
plastik itu dan menentengnya dengan senang ke kamar. Aku menaruh ponselku, lalu
cepat-cepat mencuci kakiku dan naik ke kasur untuk segera membuka bungkusan
itu.
Benda itu keluar dari
kantong plastik dengan masih rapi terbungkus plastik bening. Aku melihat
sisi-sisinya. Sempurna, tidak ada yang rusak. Aku menarik salah satu ujung
plastik beningnya yang ketat, lalu mengguntingnya dengan hati-hati. Aku
mengagumi sampulnya, aku membuka halaman-halamannya dengan cepat dan mencium
bau barunya sejenak. Ya, ini adalah sebuah buku.
Sebuah benda yang tidak
disenangi banyak orang, namun sangat disenangi orang-orang sepertiku. Memberi
ilmu, namun hanya pada orang-orang yang mau sabar menyelesaikannya. Orang-orang
di zaman sekarang lebih suka yang cepat dan instan, karena itulah benda ini
terlupakan.
“Ah, akhirnya,” gumamku
seraya menarik sebuah bantal dan bersandar padanya.
Baru saja kubuka
halaman judulnya, sudah terdengar ketukan di pintu.
“Ya?” ujarku setengah
berteriak.
“Mira datang, Lis,”
suara mama terdengar di depan pintu.
“Ya, biarkan masuk
saja, Ma!” seruku.
Pintu terbuka. Mira
muncul dan melangkah masuk ke kamarku, menutup pintu di belakangnya.
“Sini Mir, duduk. Aku
baru saja mau membaca buku ini,” ujarku, menunjukkan buku yang kupegang
padanya.
“Ah, Lis, baca lagi,
baca lagi. Sudah berapa buku yang kamu baca bulan ini? Pantas kamu lama banget
membalas pesanku. Nih!” ujarnya, seraya menunjukkan layar ponselnya. Sederet
pesan dalam laman chat kami belum
terbaca olehku di layar ponselnya.
“Iya, maaf deh. Ini
asyik, sih. Buku yang sudah kubaca bulan ini sih, baru lima. Kamu mau baca bareng?”
tanyaku.
“Nggak ah,” Mira
menggelengkan kepalanya. “Buku itu, anu Lin, terkesan...” ujarnya kehabisan
kata-kata.
“Kuno,” aku
menyambungnya.
“Ah, ya!” dia tertawa.
Aku tersenyum. Sudah
biasa orang-orang berpendapat begini. Buku itu kuno, dan membosankan.
“Nggak kok, Mir. Coba
saja kamu baca satu novel remaja, pasti nggak bisa berhenti, deh!” aku
membalasnya sambil bercanda.
Mira baru mau membalas,
tapi aku langsung melanjutkan.
“Nih, ini contohnya.
Novel ini laris sekali,” aku mengambil sebuah buku bersampul hijau dari rak
bukuku dan memberikannya pada Mira.
Dia membalik-balik
halamannya sebentar.
“Tebal banget, Lis.
Lihat saja, rasanya aku sudah mengantuk,” dia tertawa, menyerahkan kembali
novelnya padaku.
“Tebal itu nggak jadi
ukuran, Mir. Isinya nggak membosankan kok. Banyak cerita-cerita menarik di
sini,” ujarku.
Dia mengangguk-angguk,
lalu menghempaskan tubuhnya di kasurku dan memainkan ponselnya.
“Coba kamu ikut yang
lain, Lis. Ini lagi populer nih sekarang,” Mira menunjukkan sebuah laman media
sosial yang asing bagiku.
“Nggak ah Mir,” ujarku
seraya menaruh kembali bukunya. “Aku sudah punya beberapa.”
Kami diam sejenak.
“Eh, omong-omong
tentang sosial media, siapa bilang kutu buku juga nggak bisa eksis?” aku
tertawa. “Aku juga ikut komunitas buku lho Mir, di sosial media.”
Aku cepat-cepat meraih
ponselku dan membuka laman Instagram, sosial media yang berisikan foto-foto.
“Nih, Mir. Lihat,
namanya komunitas Bookstagram.”
Mira mengambil ponselku
dan melihat-lihat beberapa foto.
“Menarik, kan?” ujarku.
Dia mengangguk.
“Beberapa fotonya bagus,” ujarnya.
“Ikut komunitas itu,
rasanya aku jadi makin semangat membaca, Mir. Ada teman-teman yang bisa saling sharing tentang satu buku. Buku-buku
yang mereka rekomendasikan juga bagus-bagus. Aku jadi belajar foto buku dengan
menarik untuk di-post dan di-share dengan mereka.”
“Menarik,” ujarnya
singkat.
Mira kembali tenggelam
dalam ponselnya, dan aku mengambil buku baru yang diberikan mama.
“Mau baca bareng
nggak?” tanyaku sekali lagi.
“Nggak sekarang deh,
Lis,” ujarnya.
Aku mengangguk dan
berbaring di sebelahnya, mulai membaca. Ah, tak apa deh, jawabannya lebih baik
daripada tidak sama sekali.
“Nanti aku pinjam saja
ya Lis, novelmu yang tadi,” ujarnya.
Aku tersenyum, senang,
bahagia. “Ya,” jawabku.
Untuk membuat satu
orang belajar membaca saja sudah susah minta ampun. Untuk membuat satu orang
menyukai dunia literasi, dibutuhkan tekad yang tinggi. Aku pernah menangis
dalam hati melihat bagaimana bangsaku membenci dunia literasi. Satu orang seperti
Mira mau membaca saja aku sudah senang.
Aku bangga menjadi
seorang bibliophile, seorang pecinta
buku. Kami bukan orang-orang yang membosankan, dan buku sama sekali bukan hal
yang kuno. Buku adalah sesuatu yang keren, kalau seseorang benar-benar mau belajar
sabar dan tekun. Ia mengajarkanmu lebih banyak hal, dan yang paling penting,
mengajarkanmu bermimpi dan berimajinasi.
Aku rasa, dengan sebuah
komunitas ini, kami belajar mengikuti perkembangan zaman. Lagipula, buku zaman
sekarang pun ada yang elektronik, yang disebut dengan e-book. Dunia literasi adalah dunia di mana pengetahuan mulai
dituliskan, mulai dibagi, Tanpa dunia literasi, mungkin semua kata-kata dan
bahasa yang kalian gunakan takkan pernah ada.
Salam literasi!

Comments
Post a Comment