Hi, Bibliophiles!

You can call me Sherry. Do you ever have something you love so much? I do. Books are my life, and that's why this page is here. I usually write in Indonesian language, but you can change the language above if you want to. I usually post on Saturday or Sunday. (If not then maybe I'm busy *rotfl*)

Discover My Books On Instagram

"I am a part of everything that I have read."
- Theodore Roosevelt

Bibliophile


untuk Maria, @madhatterisreading,
untuk Kimberly, @darkladyofbooks,
dan untuk semua teman-teman di komunitas Bookstagram.

“Lis, lihat nih, mama punya hadiah untukmu,”
Mama menaruh sebuah bungkusan di meja. Masih rapi terbungkus kantong plastik berwarna putih, dengan logo yang sangat aku kenal.
“Makasih, Ma!” aku beranjak memeluk mama. “Mama tahu aja deh Lis suka banget ini.”
Aku mengambil kantong plastik itu dan menentengnya dengan senang ke kamar. Aku menaruh ponselku, lalu cepat-cepat mencuci kakiku dan naik ke kasur untuk segera membuka bungkusan itu.
Benda itu keluar dari kantong plastik dengan masih rapi terbungkus plastik bening. Aku melihat sisi-sisinya. Sempurna, tidak ada yang rusak. Aku menarik salah satu ujung plastik beningnya yang ketat, lalu mengguntingnya dengan hati-hati. Aku mengagumi sampulnya, aku membuka halaman-halamannya dengan cepat dan mencium bau barunya sejenak. Ya, ini adalah sebuah buku.
Sebuah benda yang tidak disenangi banyak orang, namun sangat disenangi orang-orang sepertiku. Memberi ilmu, namun hanya pada orang-orang yang mau sabar menyelesaikannya. Orang-orang di zaman sekarang lebih suka yang cepat dan instan, karena itulah benda ini terlupakan.
“Ah, akhirnya,” gumamku seraya menarik sebuah bantal dan bersandar padanya.
Baru saja kubuka halaman judulnya, sudah terdengar ketukan di pintu.
“Ya?” ujarku setengah berteriak.
“Mira datang, Lis,” suara mama terdengar di depan pintu.
“Ya, biarkan masuk saja, Ma!” seruku.
Pintu terbuka. Mira muncul dan melangkah masuk ke kamarku, menutup pintu di belakangnya.
“Sini Mir, duduk. Aku baru saja mau membaca buku ini,” ujarku, menunjukkan buku yang kupegang padanya.
“Ah, Lis, baca lagi, baca lagi. Sudah berapa buku yang kamu baca bulan ini? Pantas kamu lama banget membalas pesanku. Nih!” ujarnya, seraya menunjukkan layar ponselnya. Sederet pesan dalam laman chat kami belum terbaca olehku di layar ponselnya.
“Iya, maaf deh. Ini asyik, sih. Buku yang sudah kubaca bulan ini sih, baru lima. Kamu mau baca bareng?” tanyaku.
“Nggak ah,” Mira menggelengkan kepalanya. “Buku itu, anu Lin, terkesan...” ujarnya kehabisan kata-kata.
“Kuno,” aku menyambungnya.
“Ah, ya!” dia tertawa.
Aku tersenyum. Sudah biasa orang-orang berpendapat begini. Buku itu kuno, dan membosankan.
“Nggak kok, Mir. Coba saja kamu baca satu novel remaja, pasti nggak bisa berhenti, deh!” aku membalasnya sambil bercanda.
Mira baru mau membalas, tapi aku langsung melanjutkan.
“Nih, ini contohnya. Novel ini laris sekali,” aku mengambil sebuah buku bersampul hijau dari rak bukuku dan memberikannya pada Mira.
Dia membalik-balik halamannya sebentar.
“Tebal banget, Lis. Lihat saja, rasanya aku sudah mengantuk,” dia tertawa, menyerahkan kembali novelnya padaku.
“Tebal itu nggak jadi ukuran, Mir. Isinya nggak membosankan kok. Banyak cerita-cerita menarik di sini,” ujarku.
Dia mengangguk-angguk, lalu menghempaskan tubuhnya di kasurku dan memainkan ponselnya.
“Coba kamu ikut yang lain, Lis. Ini lagi populer nih sekarang,” Mira menunjukkan sebuah laman media sosial yang asing bagiku.
“Nggak ah Mir,” ujarku seraya menaruh kembali bukunya. “Aku sudah punya beberapa.”
Kami diam sejenak.
“Eh, omong-omong tentang sosial media, siapa bilang kutu buku juga nggak bisa eksis?” aku tertawa. “Aku juga ikut komunitas buku lho Mir, di sosial media.”
Aku cepat-cepat meraih ponselku dan membuka laman Instagram, sosial media yang berisikan foto-foto.
“Nih, Mir. Lihat, namanya komunitas Bookstagram.”
Mira mengambil ponselku dan melihat-lihat beberapa foto.
“Menarik, kan?” ujarku.
Dia mengangguk. “Beberapa fotonya bagus,” ujarnya.
“Ikut komunitas itu, rasanya aku jadi makin semangat membaca, Mir. Ada teman-teman yang bisa saling sharing tentang satu buku. Buku-buku yang mereka rekomendasikan juga bagus-bagus. Aku jadi belajar foto buku dengan menarik untuk di-post dan di-share dengan mereka.”
“Menarik,” ujarnya singkat.
Mira kembali tenggelam dalam ponselnya, dan aku mengambil buku baru yang diberikan mama.
“Mau baca bareng nggak?” tanyaku sekali lagi.
“Nggak sekarang deh, Lis,” ujarnya.
Aku mengangguk dan berbaring di sebelahnya, mulai membaca. Ah, tak apa deh, jawabannya lebih baik daripada tidak sama sekali.
“Nanti aku pinjam saja ya Lis, novelmu yang tadi,” ujarnya.
Aku tersenyum, senang, bahagia. “Ya,” jawabku.
Untuk membuat satu orang belajar membaca saja sudah susah minta ampun. Untuk membuat satu orang menyukai dunia literasi, dibutuhkan tekad yang tinggi. Aku pernah menangis dalam hati melihat bagaimana bangsaku membenci dunia literasi. Satu orang seperti Mira mau membaca saja aku sudah senang.
Aku bangga menjadi seorang bibliophile, seorang pecinta buku. Kami bukan orang-orang yang membosankan, dan buku sama sekali bukan hal yang kuno. Buku adalah sesuatu yang keren, kalau seseorang benar-benar mau belajar sabar dan tekun. Ia mengajarkanmu lebih banyak hal, dan yang paling penting, mengajarkanmu bermimpi dan berimajinasi.
Aku rasa, dengan sebuah komunitas ini, kami belajar mengikuti perkembangan zaman. Lagipula, buku zaman sekarang pun ada yang elektronik, yang disebut dengan e-book. Dunia literasi adalah dunia di mana pengetahuan mulai dituliskan, mulai dibagi, Tanpa dunia literasi, mungkin semua kata-kata dan bahasa yang kalian gunakan takkan pernah ada.

Salam literasi!

Comments

Popular Posts